RSS

Kamis, 24 Oktober 2013

Informasi untuk Mahasiswa Manajemen FEB UMS

0 komentar
Berikut dapat diunduh PPT KTI (lanjutan), Kisi-kisi soal UTS, dan Daftar judul proposal yang diterima.

PPT KTI (lanjutan)
Kisi-kisi soal UTS
Daftar Judul Proposal
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Selasa, 22 Oktober 2013

Sekolah Kehidupan

2 komentar
Sekolah ini tak kan kita temui deretan bangku dan meja yang mengisi kekosongan ruang
tak kan pula melihat papan tulus beserta alat tulis yang menggantung
yang mengejakan aksara kepada kita tentang karangan remang
lalu membuihkan ribuan suara sumbang akan kebingungan mamang.

Sekolah ini tak perlu berpikir tentang biaya yang membuat kantong bolong
cukup bersedia berjalan manis dengan segala misteri yang datang
menerima ketika alam dan isinya mengejakan tawa dan duka yang sumbang
hanya bisa dimengerti dalam ruang misi keilhaman sembahyang

Sekolah ini berisi tantangan menemukan kata ikhlas dan tulus nan langka untuk ditemui
menilik jiwa yang masih menyimpannya di pundi hati pun sudah jarang terjadi
lalu kembali menemui Sang Guru beser lewat segala misteri
untuk harapan lulus terhormat di sekolah kehidupan ini

Sekolah ini selalu siapkan ujian dan tantangan di kemah tersembunyi
bahkan kadang di saat diri masih bermandi keringat pedih
posisi terbaik menjadi idaman hati
usaha dan doa perlu digiring agar impian diraih

Kata, biarkan aku bercerita
ini sebuah kehidupan
tempat aku hidup dan berkata
masih adakah nuansa kezaliman tak berhati yang menutupi sejatinya cinta idaman.

Inilah sajak sekolah kehidupan
sajak cinta  yang ingin hidup di zaman edan

Surakarta, 23 Oktober 2013
Ruang Lab. Komputer PBSID UMS
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Jumat, 18 Oktober 2013

PPT Ruang Lingkup Sastra Bandingan dan Kisi-kisi UTS Sastra Bandingan

0 komentar
Mahasiswa PBSID yang mengambil mata kuliah Sastra Bandingan, berikut dapat diunduh PPT Ruang Lingkup Sastra Bandingan dan Kisi-kisi Soal UTS.

PPT Ruang Lingkup Penelitian Sastra Bandingan
Kisi-kisi soal UTS
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Selasa, 08 Oktober 2013

Jemari Sang Dara (5)

0 komentar
Malam pun menikmati dendangan Dara bersama jemari yang semakin indah bersama dawai. Masih malam untuk segera mengerjakan kembali setumpuk lembaran di kamarnya. Lalu, memutuskan untuk berdendang kembali namun lelah mulai menggerogoti jemari dan dawai. Dara terlalu egois malam itu, kembali ia ajak jemari berpadu dengan dawai dengan penuh kelelahan dan dawai pun tak lagi bersuara. Jemari terkulai tak bertenaga lagi, bahkan bagaimana cara untuk menlanjutkan tumpukan esok masih menjadi misteri yang tak ingin dijawabnya.

"Aku sudah tak mampu mengikuti maumu Dara", Dawai pun berlirih singkat lalu diam.
"Aku tak tau apakah masih ada tenaga untukku untuk tumpukan lembaran itu esok", Jemari pun bersuara.

Dara membisu, diletakkannya dawai di sudut ruangan sepi itu dan jemari dibiarkan terkulai bersama kantuk yang memeranjatnya. Jemari bahkan tidak tahu apa yang Dara lakukan sejak kantuk ia biarkan membuatnya terlelap. Perjuangan raga dan hatinya ternyata telah membuat tenaganya terkuras untuk obsesi sang Dara. Dara yang masih tak bisa mengerti akan arti kehidupan untuk dirinya. Masih malam dianggap indah, indah yang selalu ingin ditatapnya sehingga pagi menjadi waktu untuknya tidur. Sejak menamatkan studi di jurusan Sastra Indonesia waktunya tidak lagi teraba oleh jadwal.

Jemari sesaat terdiam, lalu ia lanjutkan lagi.

Dara seorang mahasiswi berbakat di kampusnya sejak menjadi mahasiswa telah diminta menjadi seorang penulis di salah satu penerbit bergengsi di kota Bandung. Hampir seluruh karyanya diminati kalangan remaja dan mahasiswa. Karena itulah setelah studinya selesai, ia tak sempat mencari pekerjaan lain, waktunya telah tersita dengan tumpukan deadline. Deadline menjadi kaca mata malamnya, dan siang selalu menjadi waktu ia antarkan tulisannya bersama mentari.

Dara, wanita yang menyukai malam itu tidaklah semata karena malam memiliki bintang dan bulan, karena terkadang malam pun begitu kelam dan mencekam. Namun, malam menjadi begitu berarti untuknya karena ibunya. Setahun lalu ia begitu terpukul atas kepergian ibunya, Tuhan telah memberikan warna baru bagi kehidupannya, saat ia berharap impian ini bisa dinikmati bersama ibu suatu hari nanti, namun Tuhan telah memberikan skenario sendiri yang tak bisa ditolaknya.

Ibunya setiap malam selalu menjadi temannya bercerita tentang kehidupan, hati, dan cinta. Sumber inspirasi terindah baginya untuk melahirkan tulisan-tulisan indah. Waktu itu hanya malam, karena pagi sampai sore ibu sibuk dengan kerjaannya sebagai ibu rumah tangga. Waktu itu hanya malam, waktu dia beristirahat sambil membelai manja paras Dara putrinya. Dan kini malam itu masih begitu penting bagi Dara. Malam yang ia sebut pengganti ibu untuknya. Malam yang ia sangka mampu menenangkan jiwanya dalam rindu yang tak bisa ia ungkap.

Masihkah ada waktu untuk Dara mengerti?

Jemari akhirnya terdiam, Dara yang semenjak tadi menjadi balutan dipikirannya meraba lembut jemarinya. Jemari sendu tak beriak saat Dara menyentuhnya. Dara begitu menghargainya telah menjadi teman setia untuknya mencipta banyak kata. Dara pun menuliskan sesuatu untuk jemari itu.

"Jemari, mungkin malam selalu kau anggap indah untukku, mungkin malam selalu kau anggap tempat kumemanjakan sepiku, mungkin malam selalu kau sangka pengganti ibu, tapi sangkamu tak kusalahkan, aku yang telalu rapuh karena rindu, dan malam aku anggap adalah waktu tuk bisa kubiarkan pedihku, namun malam terus berlalu, hingga akhirnya kutahu ini bukan akhir ceritaku, masih akan selalu ada pagi, siang, dan sore untuk kubertemu dengan malam, waktu yang masih sangat panjang, jemari sudikah kau selalu menemani kataku untuk Indonesiaku"

Selesai ^_^
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Minggu, 06 Oktober 2013

Jemari Sang Dara (4)

0 komentar
Dara masih terdiam meski jemari semakin gelisah menunggu jawabnya. Sesekali jemari melirik dawai itu berharap dawai tidak memberikan tatapan senang untuk kegelisahannya. Namun, Dara masih diam seolah tak peduli dengan apa yang telah jemari sampaikan. Dara bangun dari peraduannya lalu kembali melangkah menemui deretan bangku di balkon. Jemari pasrah meski tatapannya sendu, bahkan tenaganya sulit ia kumpulkan untuk berbagi dengan lembaran yang masih berjejer di hadapannya.

Jemari tak mengerti apa yang sedang Dara pikirkan akan inginnya. Seketika ia terkejut ketika Dara bergegas berlari ke sudut yang semenjak tadi jemari tatap. Dara mengambilnya; Dara membawanya; Dara menyentuhnya. Batin jemari berdegup tak karuan, entah apa yang sedang Dara pikirkan malam ini dan antara jemari dan dawai.

Dara kembali duduk membelai indahnya malam yang sudah mulai menghadirkan bintang. Jemari semakin tak bisa mengatur helaan nafasnya sesaat ketika dawai begitu dekat dengannya. Tanpa pikir panjang jemari mencoba memberanikan diri untuk menyapa Dara. Sentak jemari tersentuh, Dara benar-benar ingin bernyanyi untuk malam, bahkan Dara memohon dawai untuk bersahabat bersama jemari. Jemari sungguh tak menyangka dawai pun menyapanya dan telah melupakan segala pertikaian masa silam dan mencoba bersahabat untuk Dara.

Jemari mulai menggenggam dawai, dengan anggun dawai menyambut baik sapaan itu. Penuh pengharapan jemari begitu menjiwai segala kata yang telah ia ukir dalam lembaran malam, siang, bahkan pagi dalam segala rasa. Jemari dengan penuh kasih menyampaikan larik hidup kepada dawai. Jemari dengan raga yang masih ia miliki ia haturkan janji untuk selalu menjaga kata dan larik yang telah membentuk menjadi seberkas nada ketika dawai telah berbicara.

Dawai menyimak jemari sang Dara itu bersastra, jemari itu mendengung, lewat sastra ia sentuh dawai. Dawai mencoba memahami lalu menyisiri kata dalam bait rasa itu. Lalu, dawai tersenyum, larik itu telah menyentuh bagian dirinya kemudian membiaskan tubuhnya tersentuh jemari lalu bernada. Nada-nada itu mulai terdengar, merdu, kian menyuara ke permukaan malam yang masih dingin ini.

Dara mulai menyuarakan larik-larik itu, menyatukannya bersama nada ketika jemari dan dawai sedang asyik berduet memecahkan kesunyian Dara. Dara semakin mengalunkan merdunya suara indah miliknya, mengisahkan makna lewat iringan nadanya dan berbagi kepada malam agar tak lagi pergi. Dara masih saja takut malam ini pergi, meski malam selalu berjanji ia akan kembali lagi esok.

bersambung....
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Jumat, 04 Oktober 2013

Jemari Sang Dara (3)

0 komentar
Jemari mulai memutar akar agar dawai tak lagi menjauh darinya. Di sendu langit siang itu ia berkelana dalam sisi indah dawai yang ingin ia miliki. Ia sedang berusaha keras agar dawai tak lagi sepi ketika ia hendak menyapa. Ia tak berharap banyak, hanya ingin mengenalkan lembaran yang tlah ia lukis kepada hati sang dawai.

Uh,,,entahlah,
Dara pun mulai gelisah melihat jemari yang sibuk mengisah tentang dawai. Dara menyadari sedari dulu jemarinya tak mudah bersahabat dengan dawai meski ia begitu ingin. Dara pun mulai sendu melihat jemari yang mulai diam hampir kehilangan harap. Masih menatapnya, Dara mencoba mengajak jemari menyentuh tetes gerimis siang itu yang hampir berlalu bersama sore yang mulai hadir di detik-detik waktu yang terus berdetak tak jauh dari telinganya.

Jemari pun patuh tak bergeming meski hatinya masih tak tau bagaimana cara menyatukannya dengan dawai. Namun, jemari terpaksa menyerah dengan sendunya kini. Dara masih saja lemah karena malam tlah mengambil perhatiannya sehingga terlelap pun tak ingin ia temui. Dara, masih saja senja, ia telah mencari sudut senderan ketika hujan hanya menyisakan dingin bersama senja yang manja. Ia mencoba tersenyum bersama senja yang seolah bahagia setelah hujan melampiaskan rasanya. Mungkin langit siang tak lagi menyimpan beban beratnya sore itu jemari berbisik.

Jemari hendak menyentuh lembaran itu, sedikit saja menulis tentang senja dan dara kala itu. Namun, Dara begitu lena, ia meraih jemari tuk menyeka wajah tirusnya hingga pupus sudah senja itu direkam dengan indah oleh jemari. Senja seolah tersenyum geli melihat Dara dan jemarinya kemudian bergegas meninggalkan Dara takut Dara terbangun dari kantuk yang ia simpan sejak semalam. Dengan anggun senja hadir sejenak menyapa insan dengan berjuta misterinya, kemudian berlalu untuk hadirkan malam yang mungkin dirindukan banyak umat.

Dara masih lelap,
Jemari mulai terbangun dan teringat lagi dengan dawai. Kali ini dawai itu tak jauh darinya, hanya butuh Dara yang menggenggam dan ia bisa memperbaiki hubungan buruk ini. Lagi, jemari masih bisa mengkhayalkan harapannya bersatu dengan dawai.
Dara masih lelap,
Jemari berupaya lagi, upaya terbesarnya hanyalah meyakinkan hati untuk tak bersitegang dengan dawai ketika dawai menyindirinya atau ketika dawai mencemoohnya. Sudahkah jemari siap? Ia pun masih bertanya pada dirinya sendiri waktunya masih ada, setidaknya selama Dara masih lelap.

Dara pun terbangun sesaat setelah malam benar-benar siap hadir menemani umat.
Jemari pun bercerita pada dara tentang dawai, Dara tersentak dan tak menjawab hanya memandang ragu antara dawai dan jemarinya.

bersambung...


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Kamis, 03 Oktober 2013

PPT Konsep Sastra Nasional, Sastra Banding, dan Sastra Dunia dan Artikel Sanding

1 komentar
Mahasiswa PBSID kelas 5 C, D, dan E, berikut PPT Konsep Sastra Nasional, Sastra Banding, dan Sastra Dunia dan Artikel Sanding yang dapat Anda unduh!

PPT Sastra Nasional, Sastra Banding, dan Sastra Dunia
Artikel Sanding Suwardi Endasawara
Artikel Sanding Pintu Masuk Kajian Budaya

Catatan Penting!
Dua Artikel di atas harap dibaca sebelum perkuliahan pertemuan ke-6 dan dibawa dalam bentuk telah dicetak, terima kasih.
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Rabu, 02 Oktober 2013

Materi Pargraf dan Format Tugas II

0 komentar
Mahasiswa program studi manajemen kelas 7 C, D, E, F, dan G, berikut dapat diunduh materi paragraf dan halaman tugas analisis kebahasaan iklan.

PPT Paragraf
Halaman analisis kebahasaan iklan
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Jemari Sang Dara (2)

0 komentar
Jemari itu tak lama melangkah dari lelap yang tak terhitung jam ia hadiahkan. Entah apa yang membuatnya akhirnya memisahkan diri dari sandaran itu. Mentari yang sekarang persis di hadapannya ia biarkan saja tanpa hendak menyapa. Bahkan ia melenggok lagi, menjauh, lalu bertemu serpihan-serpihan pikiran yang kini hendak menyentuh dawai-dawai seni.

Langkahnya kian cantik, sepertinya serpihan itu  hendak ia tumpahkan pada lembaran baru di ruang baru pastinya tidak di depan mentari pagi itu.  Jemari itu sesekali meregangkan badannya biar kembali lentur menyelesaikan persoalan-persoalan dari pikiran itu. Kemudian seulas senyum ia bagi pada siang ketika lembar itu telah bisa ia sulam bersama dawai seni di senja nanti.

Jemari itu kini ingin melepas penat setelah serpihan ia lukiskan di lembar tak berkata hanya berdamai untuk dilukis. Langit yang tiba-tiba gelap menyentakkan lelahnya, lalu terbangun dan berlari bertemu langit. Langit seolah tak hendak menjawab segala tanya yang telah ia ajukan. Entah mengapa langit tak mau lagi berbagi, mungkinkah bebannya siang itu begitu berat? Dara terdiam dan tak hendak pergi melepas tatapannya pada langit. Langit pun masih saja diam dan berlaku kian gelap, sesekali kilat ia hadirkan dan akhirnya langit pun menangisi beban yang tak mau ia bagi. Dara hanya terpaku melihat derasnya tangisan sang langit membiaskan luka di dasar bumi dan diserap bumi biar tak terbagi luka itu.

Dara memilih duduk menemani langit yang belum juga berhenti menangis. Lembaran masih setia di sela jemarinya, kemudia lembaran itu tepat dipangkuannya sang jemari pun melenggok lagi mengirama dingin siang itu. Jemarinya makin cepat membahas luka yang ia tatap pada tangisan langit. Sesekali ia coba aja langit itu berdiskusi meski begitu alot akhirnya ia tumpahkan lagi di lembaran yang masih banyak kosong belum berpena.

Jemari pun terus berkelana lewat bisikannya pada langit hingga langit tak bisa lagi mengelak berbagi padanya. Langit masih saja gelap, masih saja menangis, tapi langit sudah mau berbagi. Dara mulai menggenggam tangan langit, mencoba menyeka lelahnya, dan langit masih ingin menangis. Jemari semakin gigih menyelesaikan lembaran itu dengan pena, merangkai kisah untuk ia satukan dengan dawai. Entah dawai sanggup menerimanya tak menjadi hal yang jemari pikirkan dan Dara menikmati hendak jemarinya.

Jemari sang Dara membagi kisah lewat pena dan lembaran.
Jemari sang Dara dengan dawai yang hendak ia padukan.

Kini siang yang masih sendu bersama langit menjadi peraduan untuk Dara bersama jemari dan lembaran. Menemui dawai bukanlah hal mudah untuknya hingga langkah itu masih tertahan hingga dawai sudah bersahabat dengannya, setidaknya ia telah menemani langit siang ini, siang yang begitu sendu untuk langit.

bersambung....
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Selasa, 01 Oktober 2013

Jemari Sang Dara

0 komentar
Lenggokan tangan menari pada jajaran kertas yang menumpuk sore itu. Terkadang diam dan terkadang berlenggok lagi menuruti kehendak hati.Lalu seketika penuh dan terkulai dalam kegerahan yang menyapu dahaga senja itu. Diam membisu sendiri lewat langkah mentari yang hampir tak berbekas. Menyorakkan deru-deru kerinduan untuk seberkas hati yang masih terkulai layu.

Langkah malam makin kokoh berjalan di hadapan mata nanar itu. Mata yang berisi seratus tanda tanya seolah mencoba mencari keelokan malam lewat rasi bintang yang belum begitu nyata. Keerotisan bulan mulai memacu pandang untuk kembali ia cari jawab dalam deruan tanya tak berwujud di lembar langit malam ini.

Dan, dentingan jam dinding menyapa tengah malam masih tak membuat dara itu bergeming dari peraduan yang tak elok untuknya. Masih ia pegang kaki malam meski malam pun akan pergi meninggalkannya dalam hitungan jam. Menetes sudah bening itu kini, entah apa yang masih ia pertanyakan lalu dihapusnya kemudian kembali ia lenggokan jemari dalam jejeran yang tambah tak beraturan itu. Terlihat begitu jorok tak berbentuk tapi masih membuatnya setia memenuhi hasrat hati yang tak kutahu maksudnya apa.

Akhirnya, kaki malam pun melangkah dengan santun kepadanya lewat sapaan fajar. Namun ia bersikeras menggenggam meski itu hanya ilusinya. Gema azan subuh terpaksa membuat jemarinya tak lagi bisa menggenggam kaki malam dan membiarkan mata sendu itu bertemu sinar mentari yang selalu tersenyum meski ia tak pernah menyukainya.

Kali ini ia terkatup dalam lembarannya, ia merebahkan kepalanya pada sandar yang ia ciptakan sendiri. sandaran tak bernyawa yang ia biarkan menemaninya dalam setengah hari kemarin. Dan kini ia harus terkulai di sandaran itu. Sandaran yang keras tak berhati telah mengambil keindahan hati yang tak berserah pada Illahi.

bersambung ... 
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
 
Copyright © Potret Catatanku