RSS

Rabu, 02 Oktober 2013

Jemari Sang Dara (2)

Jemari itu tak lama melangkah dari lelap yang tak terhitung jam ia hadiahkan. Entah apa yang membuatnya akhirnya memisahkan diri dari sandaran itu. Mentari yang sekarang persis di hadapannya ia biarkan saja tanpa hendak menyapa. Bahkan ia melenggok lagi, menjauh, lalu bertemu serpihan-serpihan pikiran yang kini hendak menyentuh dawai-dawai seni.

Langkahnya kian cantik, sepertinya serpihan itu  hendak ia tumpahkan pada lembaran baru di ruang baru pastinya tidak di depan mentari pagi itu.  Jemari itu sesekali meregangkan badannya biar kembali lentur menyelesaikan persoalan-persoalan dari pikiran itu. Kemudian seulas senyum ia bagi pada siang ketika lembar itu telah bisa ia sulam bersama dawai seni di senja nanti.

Jemari itu kini ingin melepas penat setelah serpihan ia lukiskan di lembar tak berkata hanya berdamai untuk dilukis. Langit yang tiba-tiba gelap menyentakkan lelahnya, lalu terbangun dan berlari bertemu langit. Langit seolah tak hendak menjawab segala tanya yang telah ia ajukan. Entah mengapa langit tak mau lagi berbagi, mungkinkah bebannya siang itu begitu berat? Dara terdiam dan tak hendak pergi melepas tatapannya pada langit. Langit pun masih saja diam dan berlaku kian gelap, sesekali kilat ia hadirkan dan akhirnya langit pun menangisi beban yang tak mau ia bagi. Dara hanya terpaku melihat derasnya tangisan sang langit membiaskan luka di dasar bumi dan diserap bumi biar tak terbagi luka itu.

Dara memilih duduk menemani langit yang belum juga berhenti menangis. Lembaran masih setia di sela jemarinya, kemudia lembaran itu tepat dipangkuannya sang jemari pun melenggok lagi mengirama dingin siang itu. Jemarinya makin cepat membahas luka yang ia tatap pada tangisan langit. Sesekali ia coba aja langit itu berdiskusi meski begitu alot akhirnya ia tumpahkan lagi di lembaran yang masih banyak kosong belum berpena.

Jemari pun terus berkelana lewat bisikannya pada langit hingga langit tak bisa lagi mengelak berbagi padanya. Langit masih saja gelap, masih saja menangis, tapi langit sudah mau berbagi. Dara mulai menggenggam tangan langit, mencoba menyeka lelahnya, dan langit masih ingin menangis. Jemari semakin gigih menyelesaikan lembaran itu dengan pena, merangkai kisah untuk ia satukan dengan dawai. Entah dawai sanggup menerimanya tak menjadi hal yang jemari pikirkan dan Dara menikmati hendak jemarinya.

Jemari sang Dara membagi kisah lewat pena dan lembaran.
Jemari sang Dara dengan dawai yang hendak ia padukan.

Kini siang yang masih sendu bersama langit menjadi peraduan untuk Dara bersama jemari dan lembaran. Menemui dawai bukanlah hal mudah untuknya hingga langkah itu masih tertahan hingga dawai sudah bersahabat dengannya, setidaknya ia telah menemani langit siang ini, siang yang begitu sendu untuk langit.

bersambung....
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © Potret Catatanku