RSS

Selasa, 08 Oktober 2013

Jemari Sang Dara (5)

Malam pun menikmati dendangan Dara bersama jemari yang semakin indah bersama dawai. Masih malam untuk segera mengerjakan kembali setumpuk lembaran di kamarnya. Lalu, memutuskan untuk berdendang kembali namun lelah mulai menggerogoti jemari dan dawai. Dara terlalu egois malam itu, kembali ia ajak jemari berpadu dengan dawai dengan penuh kelelahan dan dawai pun tak lagi bersuara. Jemari terkulai tak bertenaga lagi, bahkan bagaimana cara untuk menlanjutkan tumpukan esok masih menjadi misteri yang tak ingin dijawabnya.

"Aku sudah tak mampu mengikuti maumu Dara", Dawai pun berlirih singkat lalu diam.
"Aku tak tau apakah masih ada tenaga untukku untuk tumpukan lembaran itu esok", Jemari pun bersuara.

Dara membisu, diletakkannya dawai di sudut ruangan sepi itu dan jemari dibiarkan terkulai bersama kantuk yang memeranjatnya. Jemari bahkan tidak tahu apa yang Dara lakukan sejak kantuk ia biarkan membuatnya terlelap. Perjuangan raga dan hatinya ternyata telah membuat tenaganya terkuras untuk obsesi sang Dara. Dara yang masih tak bisa mengerti akan arti kehidupan untuk dirinya. Masih malam dianggap indah, indah yang selalu ingin ditatapnya sehingga pagi menjadi waktu untuknya tidur. Sejak menamatkan studi di jurusan Sastra Indonesia waktunya tidak lagi teraba oleh jadwal.

Jemari sesaat terdiam, lalu ia lanjutkan lagi.

Dara seorang mahasiswi berbakat di kampusnya sejak menjadi mahasiswa telah diminta menjadi seorang penulis di salah satu penerbit bergengsi di kota Bandung. Hampir seluruh karyanya diminati kalangan remaja dan mahasiswa. Karena itulah setelah studinya selesai, ia tak sempat mencari pekerjaan lain, waktunya telah tersita dengan tumpukan deadline. Deadline menjadi kaca mata malamnya, dan siang selalu menjadi waktu ia antarkan tulisannya bersama mentari.

Dara, wanita yang menyukai malam itu tidaklah semata karena malam memiliki bintang dan bulan, karena terkadang malam pun begitu kelam dan mencekam. Namun, malam menjadi begitu berarti untuknya karena ibunya. Setahun lalu ia begitu terpukul atas kepergian ibunya, Tuhan telah memberikan warna baru bagi kehidupannya, saat ia berharap impian ini bisa dinikmati bersama ibu suatu hari nanti, namun Tuhan telah memberikan skenario sendiri yang tak bisa ditolaknya.

Ibunya setiap malam selalu menjadi temannya bercerita tentang kehidupan, hati, dan cinta. Sumber inspirasi terindah baginya untuk melahirkan tulisan-tulisan indah. Waktu itu hanya malam, karena pagi sampai sore ibu sibuk dengan kerjaannya sebagai ibu rumah tangga. Waktu itu hanya malam, waktu dia beristirahat sambil membelai manja paras Dara putrinya. Dan kini malam itu masih begitu penting bagi Dara. Malam yang ia sebut pengganti ibu untuknya. Malam yang ia sangka mampu menenangkan jiwanya dalam rindu yang tak bisa ia ungkap.

Masihkah ada waktu untuk Dara mengerti?

Jemari akhirnya terdiam, Dara yang semenjak tadi menjadi balutan dipikirannya meraba lembut jemarinya. Jemari sendu tak beriak saat Dara menyentuhnya. Dara begitu menghargainya telah menjadi teman setia untuknya mencipta banyak kata. Dara pun menuliskan sesuatu untuk jemari itu.

"Jemari, mungkin malam selalu kau anggap indah untukku, mungkin malam selalu kau anggap tempat kumemanjakan sepiku, mungkin malam selalu kau sangka pengganti ibu, tapi sangkamu tak kusalahkan, aku yang telalu rapuh karena rindu, dan malam aku anggap adalah waktu tuk bisa kubiarkan pedihku, namun malam terus berlalu, hingga akhirnya kutahu ini bukan akhir ceritaku, masih akan selalu ada pagi, siang, dan sore untuk kubertemu dengan malam, waktu yang masih sangat panjang, jemari sudikah kau selalu menemani kataku untuk Indonesiaku"

Selesai ^_^
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © Potret Catatanku